Oleh: Ardiman Kelihu
detiKawanua.com - Beberapa hari yang lalu, peta Indonesia mengalami beberapa perubahan secara geografis, dan mungkin saja ini secara geopolitik. Mulai dari segi perbatasan (boundary), batas Zona Ekonomi Ekslusive (ZEE) dengan negara tetangga, maupun terkait dengan Zona Penangkapan Ikan wilayah Indonesia, bahkan juga perubahan nama laut cina selatan, menjadi Laut Natuna Utara yang dulunya selalu menjadi zona konflik dan perebutan kekuasaan beberapa negara.
detiKawanua.com - Beberapa hari yang lalu, peta Indonesia mengalami beberapa perubahan secara geografis, dan mungkin saja ini secara geopolitik. Mulai dari segi perbatasan (boundary), batas Zona Ekonomi Ekslusive (ZEE) dengan negara tetangga, maupun terkait dengan Zona Penangkapan Ikan wilayah Indonesia, bahkan juga perubahan nama laut cina selatan, menjadi Laut Natuna Utara yang dulunya selalu menjadi zona konflik dan perebutan kekuasaan beberapa negara.
Beberapa bulan yang lalu, kegelisahan bangsa ini juga muncul karena dihadapkan pada informasi ancaman teror dan masuknya jalur teroris seperti ISIS (Islamic State Iran and Suriah) ke wilayah Indonesia. Bahkan baru-baru ini, untuk mengatasi lalu lintas teroris global tersebut, pemerintah Indonesia bahkan memblokir sejumlah situs maupun telegram yang dianggap menjadi media penyebaran dan komunikasi radikalisme di Indonesia.
Beberapa tahun yang lalu juga, Indonesia sempat dihebohkan dengan pencaplokan beberapa aset kebudayaan nasional seperti, batik, Reog Ponorogo, Wayang, lagu Rasa Sayange, bahkan kuliner asli Indonesia seperti tahu maupun tempe.
Sejumlah peristiwa di atas adalah keping-keping kecil tentang gambaran kedaulatan negara Indonesia, baik dalam kaitannya dengan percaturan global maupun nasional.
Ketika negara Indonesia menguat dari sisi pertahanan dan keamanan, baik pada lingkup teritorial, geopolitik maupun ekonomi, maka kedaulatan dianggap sudah membaik. Namun, sebaliknya jika kekuatan geografis, geopolitik dan ekonomi Indonesia melemah, maka kedaulatannya pun dianggap melemah. Berdasarkan dua gambaran itu, orang-orang lalu menghubung-hubungkannya dengan konsepsi kekuasaan, bahwa melemahnya kedaulatan Indonesia adalah bentuk kelemahan kekuasaan negara. Dalam hal ini para Institusi negara yang dianggap tidak berjaya atas bangsa dan situasi global yang dihadapinya.
Kedaulatan sebuah negara bangsa seperti Indonesia memang selalu dialamatkan pada kedaualatan atas batas teritorialnya, baik dalam hal ini batas teritori secara fisik seperti batas geografis, maupun batas abstrak seperti sistem nilai, ideologi, maupun batas kebudayaan. Sehingga tak heran jika kedua bentuk kedaualatan itu dicaplok, dilemahkan bahkan, dirampas oleh intervensi kekuasaan lokal maupun global, rasa-rasanya institusi negara ini telah hilang kekuasaannya.
Felix Guattari dan Gilles Deleuze menyebutkan kedua kedaulatan tersebut, sebagai sebuah garis batas yang memisahkan terotorial-terotorial yang dapat berupa garis batas konkret (benteng, pagar, kawat berduri, tiang pancang), dan batas abstrak (batas ideologi, keyakinan, nilai). Bagi Guattari dan Deleuze, kedua batas tersebut dikendalikan oleh institusi-institusi tertentu: institusi militer menjaga batas negara, institusi.agama menjaga batas keyakinan, institusi budaya menjaga batas nilai (Komarudin Hidayat dan Putut Widjanarko, ed, 2008).
Retakan-retakan kedaulatan tersebut mungkin akan semakin terasa seiring dengan menguatnya lokalitas etnis, maupun menyusupnya gerakan-gerakan radikal yang belakangan ini selalu menginjeksi persatuan berbangsa. Ini adalah sekelumit tantangan internal bangsa kita. Di samping itu, pelemahan kedaulatan pun menemukan ancamannya melalui perkembangan globalisasi dewasa ini. Terbukanya peluang liberalisme pendidikan tinggi, ancaman pasar bebas, penyusupan jaringan terorisme, masalah illegal fishing, pelarian tersangka dan koruptor ke luar negeri, perompakan, masalah lingkungan, dan berbagai masalah global lainnya, turut menyusutkan kedaulatan negara.
Secara internal, gerakan-gerakan lokalitas yang didorong oleh semangat etnisitas semakin memperoleh ruangnya dengan terbukanya kebebasan membentuk otonomi daerah, maupun pelaksanaan helatan politik daerah. Hal ini tak jarang menyulutkan emosi solidaritas etnis yang malah berdampak buruk bagi daerah secara khusus, dan secara luas turut menambah beban negara. Bakan terkadang gerakan-gerakan etnis tersebut kemudian bersimbiosa dengan gerakan-gerakan ekstrimis agama (etnoreligius). Munculnya gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan agama, aliran atau sekte tertentu juga menjadi ancaman serius di internal negara kita. Sejumlah persoalan internal tersebut, mendapati keriuhan tidak saja pada kondisi sosial, melainkan terbawa sampai ke dunia virtual.
Perkembangan dunia virtual, utamanya pada media sosial semakin meninggi. Banyak tebaran cacian dan kebencian yang bertebaran di dunia virtual menjadi kendala paling rumit bagi kita. Alasannya karena, pada ruang virtual segalanya bisa diekspose dengan bebasnya, tanpa aparat yang memiliki jangkauan langsung untuk menanganinya. Semua cacian pun tak pelak bertebaran dan saling memprovokasi dengan dalih kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang seringkali mengarah pada kebebasan yang bablas. Keriuhan di dunia sosial pun menyatu dengan kerusuhan di media sosial.
Sederet masalah internal, eksternal, baik sosial maupun virtuil tersebut sejatinya tidak hanya menguji institusi negara kita melainkan menguji kedaulatan, sekaligus keutuhan seluruh komponen bangsa. Kebudayaan misalnya, jika dicaplok, dirampas bahkan diklaim secara tidak langsung terjadi pencaplokan dan perampasan atas identitas dan sistem nilai yang kita semua miliki. Sistem nilai tersebut secara formil memang dijaga oleh institusi budaya, namun secara moril menjadi tanggung jawab setiap pelaku kebudayaan , dalam hal ini masyarakat Indonesia secara umum. Seyogyanya sistem nilai tersebut adalah simbol dan identitas seluruh elemen bangsa yang telah mengkristal karena terwariskan melalui hubungan sosial yang terpelihara ratusan tahun silam. Artinya jika sistem kebudayaan tersebut hilang, maka hilanglah seluruh entitas nilai dan kebudayaan masyarakatnya.
Ini tidak hanya berlaku bagi kebudayaan.kita, melainkan juga pada soal teritiroial, ideologi, konsepsi keberagaman kita, keyakinan kita, geopolitik kita, dan berbagai sistem nilai kita. Sebab, bagaimana keseluruhan hal tersebut adalah identitas sekakigus entitas bernegara kita. Sebagai identitas, ia akan terwariskan secara kontinuitas ke masa sekarang bahkan untuk di masa mendatang. Dengan demikian, salah satu cara menemu ulang kedaulatan kita adalah, segeralah ambil bagian dalam menjaga identitas berbangsa sebagai tanggung jawab moril kita, dan mengkolaborasikan aspek lokalitas bangsa kita yang baik, dengan nilai-nilai global yang juga baik, sehingga kedaulatan yang kita rawat senantiasa relevan dan tidak ditinggalkan oleh kemajuan. (#)
ConversionConversion EmoticonEmoticon