Oleh: Taufani
(Dosen IAIN Manado, Komunitas INGAGERS Manado, dan Anggota Lesbumi NU Sulut)
detiKawanua.com - Pilkada Jakarta kali ini telah menguras energi positif kita sebagai anak bangsa sehingga tak ayal kita saling caci-mencaci, hujat-menghujat dan lupa pada pilkada di daerah lain yang juga tak kalah pentingnya terhadap hajat hidup kita sebagai anak bangsa. Hal ini muncul karena kita umumnya belum memiliki sikap negarawan dan juga kedewasaan dalam merespon perbedaan.
Pilkada Jakarta kali ini menurut hemat saya akan jauh lebih menarik bila dilihat dari berbagai perspektif. Dengan itu, kita dapat tahu betapa seksi dan menarik intrik-intrik politik yang ada di dalamnya.
Sayangnya, kebanyakan orang melihat hal ini hanya dari sudut pandang agama yang cenderung berorientasi fikih (baca: fikih klasik) karena memang kecenderungan fikih-sentrisme sangat kuat menghunjam cara pandang kita dalam melihat dan memaknai agama (Islam), sehingga yang muncul adalah kecenderungan oposisi biner, yakni benar-salah, halal-haram, saleh-sesat. Padahal agama tidaklah sesederhana itu. Begitu pun juga dengan logika politik, ia selalu penuh dinamika, intrik, dan kompleksitas.
Bila kita mengikuti dinamika pilkada jauh sebelum Ahok mencalonkan menjadi gubernur, sebenarnya pihak-pihak yang anti Ahok -termasuk yang berbaju agama- sejak dulu selalu mencari kesalahan Ahok, tetapi mereka selalu gagal total. Mereka menggunakan berbagai cara demi menjegal Ahok, seperti memfitnah, mencaci dengan bahasa yang kasar, mengajukan gubernur tandingan, hingga mendemo Ahok agar tidak dilantik menjadi gubernur menggantikan Jokowi. Pihak kepolisian yang pernah menjaga keamanan ketika memuncaknya penolakan terhadap Ahok pasti masih ingat betul dengan kejadian ini, karena mereka menjadi korban lemparan batu dan kotoran hewan oleh para demonstran. Intinya, Jakarta yang mayoritas beragama Islam haram dipimpin oleh non-muslim, untuk tidak mengatakan kaum kafir. Demikian, apa yang mereka inginkan.
Banyak pihak sebenarnya mengakui kinerja Ahok sebagai gubernur. Dia cerdas, berani, dan kontroversial. Salah satu kebijakan kontroversialnya adalah dia berhasil menghancurkan tempat prostitusi dan perjudian terbesar di Jakarta yang bernama Kalijodo. Sebelum Ahok, tak ada yang berani menghancurkan tempat ini, termasuk Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini sangat anti dan benci pada Ahok.
Sayangnya, Ahok mengalami 'keseleo lidah'. Dia sebenarnya berniat menyindir mereka yang suka mengutip ayat-ayat kitab suci termasuk Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 51 untuk kepentingan politiknya, tetapi oleh para pembencinya, video pidatonya yang menyinggung soal itu dipotong lalu ditafsirkan secara serampangan -tanpa berniat melakukan tabayyun atau klarifikasi- sebagai jalan masuk untuk menersangkakan lalu memenjarakan Ahok dengan tuduhan penistaan agama.
Apabila Ahok berhasil dipenjarakan, maka para rivalnya akan tersenyum lebar dan bersorak gembira karena Ahok sang petahana yang tangguh dan sulit dikalahkan sudah tak bertaring lagi. Dan adagium politik mengatakan 'tidak ada makan siang gratis' sebentar lagi akan terealisasi. Jadi yang berhasil menang dalam drama pilkada ini tak boleh lupa melakukan politik balas budi pada mereka yang telah 'berkeringat' mencari-cari kesalahan Ahok yang menyebabkan elektabilitasnya menurun.
Itulah politik, memang kelihatan kejam dan kotor karena memang selama ini nalar politik kita selalu terjebak dalam politik praktis yang hanya berorientasi jangka pendek dan juga berorientasi pada materi dan kekuasaan. Yang kita butuhkan adalah politik nilai yang mengedepankan etika dan moralitas dan berorientasi jauh ke depan yang menembus sekat-sekat identitas primordial.
Rasanya memang urgen masyarakat kita dewasa ini diedukasi dengan pendidikan politik (demokrasi) dan juga literasi media, sehingga mereka ke depannya tak lagi menjadi 'korban' dari pihak-pihak yang kerap memperdagangkan agama demi syahwat politik. #
ConversionConversion EmoticonEmoticon